Hukum & Kriminal

Sidang Pemalsuan Keterangan Riwayat Tanah, Nafian Mengaku Menyesal

Diterbitkan

-

Terdakwa Nafian dan Sunarko. (gie)
Terdakwa Nafian dan Sunarko. (gie)

Memontum Kota Malang – Terdakwa Nafian (49) PNS, warga Jl Wukir, Gang V, RT 03/RW 02, Kelurahan Temas, Kecamatan Batu, Kota Batu dan Sunarko (48) warga Dusun Santrean, RT 03/RW 03, Desa Sumberejo, Kecamatan Batu, Kota Batu, Rabu (29/7/2020) siang, memberikan keterangan terdakwa di PN Kota Malang.

Dalam persidangan kasus dugaan Pasal 263 Ayat 2 KUHP Jo Pasal 55 Ayat 1 Ke 1 KUHP dan atau Pasal 406 ayat 1 KUHP Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP, Nafian sempat mengaku menyesal dengan apa yang telah dilakukan nya bersama Sunarko.

” Kenapa surat tanah yang ada di desa kok tidak dicoret, inilah yang bikin saya menyesal hingga terjadi permasalahan ini,” ujar Nafian.

Di jelaskan oleh nya bahwa saat ayahya (Darip) sebelum meninggal sempat menyebut tegal.

Advertisement

“Saat itu ada saya dan ibu saya. Bapak saat sedang sakit sempat menyebut tegal. Dia mengatakan tegal e yo opo. Setelah bapak meninggal saya menemuka surat tanah di lemari adik saya Wahyu Ningsih. Saat itu saya beranggapan mungkin ini yang dimaksud bapak. Sehingga saya merasa terpanggil untuk melakukan pengecekan,” ujar Nafian.

Nafian mengaku tidak mengerti cara pengecekan surat tanah hingga meminta tolong Sunarko. ” Saat itu Mas Narko bilang Yo opo aku duwe konco Pak Amin Makmun (Polisi) yang biasae ngurus tanah,” ujar Nafian.

Selanjutnya Sunarko dan Amin Makmun yang mendatangi Kantor Kelurahan Temas. ” Semua yang membuat 6 surat tersebut adalah Pak Heri (Staf Kelurahan Temas yang sudah terdakwa dalam persidangan terpisah). Yang membuat surat keterangan riwayat tanah adalah Heri. Pernyataan tanah tidak sengketa, surat pemasangan tanda batas semua yang buat Pak Heri ,” ujar Sunarko.

Nafian kembali mengaku kalau dirinya saat tanda tangan, tidak membaca surat yang dikeluarkan oleh Heri Susiyo. “Baca pun tidak, saya hanya tanda tangan. Betul kalau saya awalnya berkehendak membuat sertifikat. KK dan KTP saya serahkan ke Pak Narko kemudian diserahkan ke Heri,” ujar Nafian.

Advertisement

Saat ngurus aurat-surat hingga terbut SPPT dan ke BPN semuanya dilakukan oleh Sunarko dan Amin.

“Terkait vasum untuk masuk ke perumahan, Pak Amin meminta bantuan Pak Rudi. Karena Pak Rudi kenal sama pengembang perumahan. Awalnya saya tidak tahu kalau ada masalah. Untuk biaya vasum tersebut saya sudah bayar Rp 120 juta ke Pak Rudi untuk diserahkan ke pihak perumahan. Saya berani bongkar tembok karena ijin dari pihak perumahan. Saya pikir yang mengurusi polisi, jadi saya merasa aman,” ujar Sunarko.

Pihaknya juga menyayangkan kepada pihak korban kenapa saat pembongkaran di hari ke tiga baru menunjukan kalau tanah tersebut SHGB. “Kenapa setelah hari ketiga baru menunjukan SHGB. Kenapa tidak sejak awal saat sebelum pembongkaran tembok. Kalau seumpama saya tahu tanah itu sudah SHGB, maka tidak mungkin saya teruskan,” ujar Sunarko.

Ternyata dalam mengurus tanah itu, Sunarko dijanjikan tanah seluas 300.meter persegi di lokasi tersebut oleh Nafian.

Advertisement

“Kalau sudah clear saya akan mendapat tanah 300 meter persegi. Tanah yang saya jual ke Keluarga Pak Rudi adalah tanah bagian saya yang sudah di kavling. Uang pembelian tanah Rp 270 juta kami gunakan untuk pengurusan termasuk untuk vasum Rp 120 juta. Termasuk juga untuk bayar pengacara Rp.30 juta. Saya dulu sempat pakai pengacara. Sebab dulu saya disarankan oleh Pak Rudi untuk gugatan,” ujar Sunarko.

Sunarko tetap berjanji akan mengembalikan uang kepada keluarga Rudi yang sudah terlanjur membeli ranah kavling di lahan tersebut. ” Selama ini saya takut sama Pak Amin dan Pak Rudi. Untuk uang Rp 270 juta akan saya kembalikan. Saya akan jual rumah saya,” ujar Sunarko.

MS Alhaidary SH MH, kuasa hukum Liem Linawati mengatakan bahwa terdakwa memang mempunya hak ingkar. “Terserah terdakwa mau menerangkan apa yang menguntungkan dirinya, bahkan bohong sekalipun. Tapi apapun itu semua bergantung fakta persidangan,” ujar Alhaidary saat dihubungi Memontum.com melalui ponselnya.

Seperti diberitakan sebelumnya Terdakwa Nafian (49) warga Jl Wukir, Gang V, RT 03/RW 02, Kelurahan Temas, Kecamatan Batu, Kota Batu dan Sunarko (48) warga Dusun Santrean, RT 03/RW 03, Desa Sumberejo, Kecamatan Batu , Kota Batu, didakwa Pasal 263 Ayat 2 KUHP Jo Pasal 55 Ayat 1 Ke 1 KUHP dan atau Pasal 406 ayat 1 KUHP Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Advertisement

Sebab selain melakukan pemalsuan surat untuk menguasai tanah milik Liem Linawati, warga Perum Dewi Sartika, Kelurahan Temas, Kota Batu, mereka juga terlibat dalam pembongkaran tembok pembatas Perum New Dewi Sartika dengan lebar 350 cm, tinggi 210 cm, ketebalan 60 cm dengan jumlah volume 4,41 meter kubik milik Liem Linawati. JPU Maharani menjelaska surat yang diduga palsu buatan oknum.

“Terbit surat seperti yang diinginkan Nafian. Yakni setelah Sunarko meminta tolong anggota polisi. Kemudian dibikinlah surat-surat tentang sporadik. Dalam surat itu dijelaskan bahwa tanah itu sejak Tahun 2000 dikuasai oleh Nafian. Kenyataanya tidak pernah mengusai. Memang ada tanda tangan Lurah Temas. Saat itu Pak Lurah percaya pada oknum stafnya hingga menandatangani surat tersebut. Surat itu kemudian digunakan untuk membuat SPPT PBB. Jadi tanah itu ada 2 SPPT PBB atas nama bu Liem dan satunya atas nama Darip. Sehingga terjadilah pembongkaran tembok tersebut pada 15 Juli 2019,” ujar Maharani.

Diketahui pada warkah tercatat secara jelas bahwa pada Tahun 1983 , tanah dijual oleh pemiliknya, Darip P. Sunarsih kepada Marlikah. Selanjutnya oleh Bu Marlikah dijual kepada BUN (Bank Umum Nasional).

” Saat tanah dijual ke Marlikah suratnya sudah menjadi SHM. Karena dibeli oleh PT BUN, SHM dijadikan SHGB. Kemudian pada Tahun 1993 tanah tersebut oleh PT BUN dijual ke Bu Liem,” ujar Maharani. (gie/yan)

Advertisement

 

Advertisement
Click to comment

Tinggalkan Balasan

Terpopuler

Lewat ke baris perkakas