Kopi Ketan

Corona dan ‘Profesor’ Grup WA

Diterbitkan

-

Corona dan 'Profesor' Grup WA
Januar Triwahyudi, Pemred memontum.com

Saya tergelitik menulis ringan ditengah wabah covid-19 (coronavirus disease). Sekedar tulisan enteng-entengan yang menggambarkan kondisi masyarakat sekitar lingkungan saya sendiri. Karena sejak wabah atau masyarakat Jawa menyebutnya dengan pagebluk ini muncul, banyak pula muncul pengamat medsos, wartawan medsos, dokter medsos, polisi dan tentara medsos pun ada.

Bahkan “jurnalis” WA, Fesbuk, IG dan Tweeter ini, ngeyelnya luar biasa. Ngalah-ngalahi wartawan atau jurnalis yang sudah bersertifikasi UKW (Uji Kompetensi Wartawan). Jangankan UKW muda atau madya, wartawan dengan UKW utama pun, bisa kalah eyel-eyelan.

Namun, saya teringat pesan H Agil, pendiri koran Memorandum. Bahwa wartawan itu punya harga karena karya tulisnya. Selain itu, salah satu tugas jurnalistik, adalah menyampaikan fakta ke masyarakat. Di era kekinian, jurnalisme juga berkewajiban menangkal info hoax.

Jujur saja, info atau berita hoax itu, lebih mudah diterima oleh masyarakat. Meskipun tidak memenuhi kaidah jurmalistik. Karena berita hoax sengaja dibuat tidak lengkap, tidak jelas narasumbernya, sehingga membuat penasaran. Dan, sifat dasar manusia adalah keingintahuan. Semakin bikin penasaran, semakin menarik keingintahuan seseorang.

Advertisement

Pada perkembangannya, media pers tidak lagi menjadi parameter validitas informasi. Masyarakat tidak lagi mempertimbangkan informasi itu dari mana, faktualitasnya, aktualitasnya, akuntabilitasnya, dari media yang legal atau tidak, media yang terverifikasi apa tidak. Asal ada share info, asal forward saja.

Masyarakat tidak lagi bisa membedakan web perusahaan pers siber atau media siber, dengan web pribadi. Karena seseorang dengan namanya pribadi pun bisa punya web, seperti blogger. Bahkan belakangan muncul media siber bodong, yang jelas tidak akan bisa memenuhi standar verifikasi dewan pers.

Karena itulah saya menyusun tulisan ini, dengan harapan bisa memberikan gambaran antara karya jurnalistik, dan bukan alias hoax. Saya contohkan di sebuah grup WA yang saya ikuti. Saya share link berita soal bilik disinfektan.

BACA : Dosen ITS Jelaskan Manfaat dan Bahaya Bilik Sterilisasi

Advertisement

Karena tidak baca lengkap, seorang anggota grup, langsung menyatakan jika yang membuat artikelnya bukan orang di bidangnya. Katanya menyesatkan, membuat masyarakat bingung. Uniknya, setelah 30 Maret 2020, anggota grup lain memforward, soal bilik disinfektan tidak direkomendasi WHO. Dan tidak ada yang membantah.

Padahal dalam berita yang saya share, di dalamnya disebutkan juga rekomendasi WHO. Sumber beritanya adalah, Prof Dr rer nat Fredy Kurniawan MSi, guru besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), jabatannya, Kepala Departemen Kimia ITS. Kurang kompeten apanya? Lha guru besar.

“Profesor kan ada jurusannya……” itu kalimatnya saya copas dari grup WA. Tertulis pas di bawah kalimat saya, yang menjelaskan kompetensi Prof Fredy.

Saya sempat bingung. Namun kemudian, saya memahami mungkin dia tidak baca konten berita. Hanya judul saja. Link nya tidak di klik. Atau juga malas baca, karena naskah beritanya panjang. Dari cerita pengalaman saya pribadi ini, bahwa saya wartawan yang sudah memiliki sertifikasi UKW Utama pun, masih bisa dieyel oleh medsos yang gak jelas sumbernya. Dibantah oleh orang yang tidak tahu ilmu jurnalistik.

Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana halnya di grup WA lain, yang anggota grupnya tidak ada yang berprofesi wartawan. Betapa gencarnya info dan berita menyesatkan, tanpa ada yang bisa meluruskan. Sedangkan saya sendiri, merasa kelabakan bagaimana menjelaskan di grup WA, beda antara berita/news dengan artikel. Lha wong profesor kimia ITS, masih bisa diragukan oleh profesor grup WA, yang lebih percaya postingan tanpa sumber daripada berita media pers yang terverifikasi. (*)

Advertisement

 

Penulis :

Januar Triwahyudi
Pemred memontum.com

Advertisement
Advertisement
1 Komentar

Tinggalkan Balasan

Terpopuler

Lewat ke baris perkakas