Hukum & Kriminal

Sengketa Tanah di Madyopuro, Pemkot Malang Digugat

Diterbitkan

-

Dr. M. Khalid Ali, S.H., M.H., dan H. Agung Mustofa. (gie)

Memontum Kota Malang – Sengketa sebidang tanah di kawasan Madyopuro, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang seluas 3260 meter persegi, sidang gugatannya masih berlangsung di PN Malang, Selasa (25/5/2021) sore. Yakni antara H. Agung Mustofa yang menggugat Pemkot Malang terkait tanah yang berada di kawasan depan Velodrom tersebut.

Agung meyakini bahwa tanah tersebut adalah miliknya pemberian hibah dari ibunya Alm. Hj. Chutobah. Sedangkan Pemkot Malang melalui Kepala Bagian Hukum Pemkot Malang, Tabrani S.H. mengatakan bahwa tanah tersebut tersebut telah dijual Perumnas sesaui dengan surat letter C. Persidangan kali ini menghadirkan dua saksi dari pihak tergugat.

Baca juga:

    Saat bertemu Memontum.com di waktu skorsing persidangan, Agung menceritakan bahwa tanah tersebut adalah miliknya pemberian hibah dari Alm. Hj. Chutobah Tahun 1995.

    “Sebelum Tahun 1980, orang tua saya memiliki hak sewa dari Kahar dan Kaserin. Pada Tahun 1980, tanah itu dijual bebas ke orang tua saya sistemnya ganti rugi. Disaksikan Kahar dan Kaserin serta saudaranya Fatimah dan Siti. Tanah itu sah milik orang tua saya hingga Tahun 1995 dihibahkan kepada saya. Banyak saksinya,” ujar Agung.

    Advertisement

    Pada Tahun 2018, Agung mengajukan program pengururusan sertifikat. “Setelah diukur, ternyata kuotanya penuh jadi menunggu sistem antrian. Pada Tahun 2020, pas saya mau mengurus lagi kok tau-tau sudah menjadi tanah Pemkot Malang. Akhirnya saya melakukan gugatan. Menurut Pemkot tenah tersebut telah dijual ke Perumas. Kok bisa seperti itu, padahal surat aslinya masih berada di tangan saya. Kalau misalkan ada jual beli, surat asli kan ngikut ke pembeli. Tapi ini bukti surat masih ada di tangan saya,” ujar Agung.

    Dr. M. Khalid Ali, S.H., M.H, kuasa hukum Agung Mustofa mengatakan bahwa tanah tersebut adalah tanah BDN (Bekas Dai Nippon). “Tanah tersebut sebelum dijajah Jepang, adalah milik warga. Saat masa penjajahan Jepang, tanah tersebut dikuasai Jepang dan digunakan untuk landasan bandara Sundeng. Setelah kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, warga pemilik asal diperkenankan untuk menguasai kembali. Oleh karena itu di buku desa masih atas nama warga masing-masing. Karena pernah dikuasai penjajah makanya ada tanda yang berbeda di buku tanahnya, tanah BDN,” ujar Khalid.

    Menurut Khalid bahwa saksi dari Pemkot Malang menguntungkan pihaknya sebagai penggugat. “Tadi saksinya Endik Sampurno, warga asli Madyopuro. Dia mengatakan bahwa tanah itu adalah tanah BDN. Mengatakan bahwa bahwa kakek dan orang tua klien kami memiliki banyak sawah. Jadi klien kami bukan asal mengklaim. Tanah tersebut adalah miliknya,” ujar Khalid.

    Sementara itu Kepala Bagian Hukum Pemkot Malang, Tabrani SH saat dikonfirmasi Memontum.com mengatakan bahwa tanah itu sudah dijual ke Perumnas.

    Advertisement

    “Melihat gugatannya, penggugat menyebut bahwa tanah milik nya dia, dari orang tuanya. Padahal menurut saya di data buku Letter C, tanah itu telah dijual ke Perumnas,” ujar Tabrani. (gie)

    Advertisement
    Click to comment

    Tinggalkan Balasan

    Terpopuler

    Lewat ke baris perkakas